Sabtu, 22 Januari 2011

Mulianya Pendurhaka dari Ahli Ibadah

Tidak terpikir dalam benak kira bahwa ada pendurhaka yang ternyata lebih mulia derajatnya dibandingkan dengan ahli ibadah. Padahal pendurhaka itu telah nyata menjadi musuh manusia dan Allah SWT. Demikian pula dengan ahli ibadah, ia adalah sosok yang selalu menjadi idola dan disanjung banyak manusia serta menjadi kekasih Allah SWT.

Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA menyebutkan Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Seorang yang durhaka atau penyeleweng yang mengharap rahmat Allah lebih dekat kepada-Nya dari pada seorang abid (ahli ibadah) yang berputus asa.”

Demikian pula dengan Ibnu Mas’ud yang mendapat riwayat Zaid bin Aslam, dari Umar yang mengatakan tentang seorang lelaki di masa silam yang tekun beribadah, akan tetapi ia akan memutus-asakan manusia dari Rahmat Tuhan.

Tidak lama kemudian setelah ahli ibadah itu mati, ia berkata pada Tuhannya, ”Apa saja kepunyaanku yang ada pada-Mu?”

Tuhannya menjawab, ”Neraka!”

Ia bertanya lagi, ”Lalu dimana hasil ibadah dan ketekunanku.”

Allah menjawab, ”Engkau telah memutusasakan manusia dari rahmatKu di dunia, maka sekarang kuputuskan pula rahmatKu untukmu disini (akherat).”





Dalam riwayat yang lain Abu Hurairah RA menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, Ada seseorang yang tidak melakukan kebajikan sedikitpun kecuali hanya bertauhid. Maka setelah kematian menjelangnya di ambang pintu, ia berpesan kepada keluarganya agar nanti apabila ia telah mati dibakar jasadnya sampai menjadi debu, lalu dibuanglah ke laut pada saat angin kencang. Dan setelah ia mati, maka keluarganya melaksanakan pesan atau wasiatnya itu. Saat jiwanya (roh) diterima disisi Allah, maka Dia menanyainya, Apa yang kamu bawa untukKu? Ia menjawab, ”Hanya ketakutanku kepadaMu.” Maka Allah SWT mengampuninya, padahal ia tidak pernah membuat kebaikan kecuali hanya bertauhid.”

Demikian pula dalam sebuah hikayat yang menceritakan seorang lelaki fasik pada Nabi Musa AS, setelah lelaki itu mati, maka orang-orang yang ada disekililingnya tidak mau memandikan dan menguburkannya. Kemudian mereka melempar mayatnya ke tempat sampah yang terdapat kotoran binatang.

Seketika itu pula turunlah wahyu Allah SWT kepada Nabi Musa AS, ”Wahai Musa ada seorang lelaki yang mati di kampungnya dan ia berada di tempat sampah. Padahal ia adalah seorang wali di antara para wali-waliKu. Ia belum dimandikan, dikafani dan dikuburkan. Pergilah ke sana, mandikanlah ia, kafanilah, kemudian sholatkan dan kuburkanlah.”

Lalu Nabi Musa mendatang tempat tersebut dan bertanya kepada orang-orang yang ada disekitarnya tentang mayat tersebut. Mereka berkata, “Ia mati seperti ini dan seperti ini (menceritakan keburukanya) dan ia seorang yang jelas-jelas fasik”.

Musa bertaya, ”Dimana ia sekarang karena Allah telah mewahyukanku tentang orang tersebut.”

Maka orang-orang yang ada menunjukkan kepada Musa AS dimana mayat itu berada dan tergeletak di tempat sampah yang kotor.

Kemudian Musa AS berkata kepada Tuhannya, ”Ya Allah, Engkau menyuruhku mengubur dan mensholatkan, sedangkan orang itu telah menyaksikan keburukan tingkah laku dan Engkau Maha Tahu tentang baik buruknya.”

Dan Allah SWT berfirman, ”Wahai Musa, benar apa yang dilihat kaummu tentang keburukannya. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa ketika hendak meninggal ia telah meminta pertolongan dan mohon syafaatKu tentang tiada perkara dan andaikan semua pendosa (para pembuat dosa) dimuka bumi ini memohon ampunanKu, niscaya Aku terima lalu bagaimana Aku tidak mau mengasihinya, sedangkan ia telah memintanya. Padahal Aku bersifat Arrohman dan Arrohim (Pengasih dan Penyayang).

Musa AS berkata pada Tuhannya, ”Apakah tiga perkara iru.” Allah menjawab, ”Ketika akan mati ia berkata ”Wahai Tuhanku, Engkau Maha Tahu sedangkan hati nuraniku tidak mau hal itu dan hatiku sangat membencinya.” Adapun tiga hal yang menjadi permintaannya adalah sebagai berikut:

Pertama, adanya hawa nafsu, teman yang jelek perangainya dan iblis yang terkutuk. ’inilah yang telah membuatku melakukan maksiat. Sedangkan Engkau Maha Mengetahui dari diriku dan dari apa yang telah aku katakan, maka ampunilah aku.’

Kedua, ia berkata, ’Wahai Tuhanku sesungguhnya Engkau tahu perbuatan maksiatku dan tempatku bersama orang-orang fasik. Akan tetapi aku juga senang bersahabat atau bergaul dengan orang-orang saleh dan zuhud. Padahal aku lebih menyukai hal ini daripada bersama-sama orang-orang yang fasik.

Ketiga, ia berkata, ‘Wahai Tuhanku, Engkau Maha Tahu, bahwasanya aku lebih senang bersama orang-orang yang saleh daripada orang-orang yang fasik. Andaikan datang kepadaku seseorang yang saleh dan seseorang pemabuk, maka akan kuutamakan orang yang saleh itu.”

Dalam riwayat yang lain Wahab bin Munabbah mengatakan, “Andaikan Engkau memaafkan dan mengampuni dosa-dosaku, maka akan membuat para wali dan para nabi gembira. Sehingga setan-setan, para musuhku dan musuhMu akan bersedih dan menangis. Ataukah Engkau akan membuat setan tertawa gembira. Sedangkan para nabi dan wali-wali-Mu bersedih hati. Wahai Tuhanku, aku tahu bahwasanya kegembiraan para wali terhadapMu lebih aku suka daripada kegembiraan setan-setan yang terlaknat dan terkutuk itu. Maka dari itu, ampunilah aku wahai Tuhanku, Engkau lebih tahu dari pada aku tentangnya apa yang kuucapkan. Kasihanilah aku dan ampunilah aku.”

Maka Allah mengampuni dan memaafkannya. Karena sesungguhnya Allah bersifat Rauufun Rahimin (Maha Penyayang) terutama bagi mereka yang telah mengakui dosa-dosanya dihadapanNya.

Allah berfirman kepada Musa AS, ”Wahai Musa, lakukanlah apa yang telah kuperintah kepadamu. Karena sesungguhnya Aku telah mengampuni dengan mewajibkan menyolatinya dan mendatangi penguburannya.”

Disalin dari :
Syeikh Muhammad bin Abi Bakar, Senandung Burung Pipit Fatwa Sufi Pembebasan Hati Nurani, 1995, ITTAQA Press, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar